PERSEKUTUAN
FIRMA
° Dasar
Hukum Firma
1.
Bab
III Bagian II Buku I KUHD Pasal 16 – 35 KUHD.
2.
Pasal
1618 – 1652 KUH Perdata.
° Pengertian
Firma
Menurut
Pasal 16 KUHD: “yang dinamakan perseroan firma ialah tiap-tiap perserikatan
yang didirikan untuk menjalankan sesuatu perusahaan di bawah satu nama
bersama”.
Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa persekutuan firma adalah suatu
perusahaan yang berbentuk persekutuan (satu nama bersama) dan jenis persekutuan
yang terbangun disebut sebagai persekutuan perdata khusus. Kekhususan firma
terletak pada 3 unsur mutlak sebagai tambahan pada persekutuan perdata, yaitu:[1]
a. Menjalankan perusahaan (Pasal 16 KUHD);
b. Dengan nama bersama atau firma (Pasal 16 KUHD);
c. Pertanggungan jawab sekutu bersifat pribadi untuk
keseluruhan atau tanggung jawab bersifat solider (Pasal 18 KUHD), istilah Belanda:
“Hoofdelijk voor het gehee”.
Pada dasarnya firma juga merupakan suatu
persekutuan (pasal 15 KUHD), yaitu lex
specialis terhadap KUHPerdata. Apabila dikaitkan dengan pasal 1618 KUHPerdata
bahwa persekutuan firma juga merupakan persekutuan perdata yang di dalamnya
terdapat suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang atau lebih. Dalam hal
ini dua orang yang melakukan perjanjian dan berada dalam persekutuan firma
disebut sebagai pendiri persekutuan firma.
° Nama
Bersama atau Firma
Firma artinya nama bersama, yaitu nama
orang (sekutu) yang dipergunakan menjadi nama perusahaan (persekutuan firma).
Pembuatan nama perusahaan Firma diatur dalam pasal 20 ayat (1) KUHD:
“Dengan tak mengurangi kekecualian
tersebut dalam ayat kedua pasal 30 KUHD, nama persero pelepas uang tidak boleh
dipakai dalam firma”.
Lebih lanjut dalam pasal 30 ayat (2)
KUHD menyatakan bahwa:
“Ketentuan ayat kesatu pasal 20 tidak
berlaku, jika persero yang mengundurkan diri itu dulu persero firma dan
kemudian menjadi persero lepas uang”.Dari pasal 20 ayat (1) dan pasal 30 ayat
(2) KUHD diketahui bahwa pemakaian nama sekutu komanditer (CV) sebagai firma
dilarang, kecuali apabila sekutu komanditer (CV) itu sebelumnya adalah sekutu
kerja (firma) biasa”.
Mengenai penamaan perusahaan firma, diatur
dalam Pasal 30 ayat (1) KUHD. Dari Pasal 30 ayat (1) KUHD ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1)
Dalam
perjanjian pendirian persekutuan firma yang telah bubar tersebut terdapat
ketentuan yang mengizinkan nama perusahaan itu dipakai;
2)
Para
pendiri firma yang telah bubar, memberikan izin menggunakan nama firma mereka
oleh pihak lain;
3)
Dalam
hal bubarnya firma karena meninggalnya salah satu atau seluruh sekutu, terdapat
izin yang tidak keberatan untuk menggunakan nama firma tersebut dari para ahli
waris;
4)
Penggunaan
nama firma tersebut harus dikuatkan dengan pernyataan dalam akta notaris;
5)
Akta
notaris tersebut harus diiringi dengan pendaftaran dan pengumuman akta notaris
oleh para sekutu.
Dalam praktiknya, nama perusahaan firma
diambil dari:[2]
© Nama salah seorang sekutu, misalnya “Wibisono” maka nama
persekutuan firma yang mereka bentuk lalu dinamakan “Persekutuan Firma
Wibisono”. Nama orang (Wibisono) yang lalu dijadikan nama perusahaan itu
disebut “firma”.
© Nama salah seorang sekutu dengan tambahan, seperti Malau
Bersaudara, Bona & Brother, Henny & Sons, dll.
© Kombinasi nama dari semua atau sebagian dari nama para
sekutu, seperti Karandri (Kardo dan Andri), Boya (Bona dan Maya), dll.
© Berasal dari nama lain yang bukan nama keluarga, seperti
mengenai jenis usaha yang dikelola, “Firma Ekspedisi Terdepan”, “Firma
Perniagaan Pertekstilan”, dll.
° Jenis
Usaha Persekutuan Firma
Ada dua jenis usaha firma yang sering
ditemukan, yaitu:[3]
1.
Firma
dagang adalah persekutuan firma yang kegiatan usaha utamanya memproduksi atau
membeli dan menjual barang-barang.
2.
Persekutuan
firma non-dagang adalah persekutuan firma yang menjual jasa, misalnya usaha
jasa pengacara, akuntan publik, konsultan, dsb.
° Prosedur
Mendirikan Firma
Prosedur pendirian persekutuan firma
diatur dalam pasal 22 KUHD. Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui syarat
yang harus dipenuhi adalah:
a. Pembuatan akta pendirian persekutuan
firma harus dengan akta otentik/ akta notaris (pasal 22 KUHD).
“Tiap-tiap perseroan firma harus didirikan dengan akta
otentik, akan tetapi ketiadaan akta yang demikian tidak dapat dikemukakan
untuk merugikan pihak ketiga”.
Dari pasal ini diketahui bahwa ada atau
tidaknya surat (akta otentik) tidak pernah digunakan sebagai tangkisan terhadap
pihak ketiga, akta tersebut hanya menjadi syarat bagi keperluan alat pembuktian,
bukan syarat bagi keberadaan persekutuan firma (tidak mutlak). Akta otentik
disini adalah yang dimaksud dalam pasal 1868 KUH Perdata. Akibat ketiadaan akta
pendirian persekutuan firma bagi sekutu sendiri:
-
Dimana
ketiadaan akta pendirian firma, maka sekutu dapat menyangkal kepada pihak
sekutu yang lain, kalau ia tidak pernah mendirikan firma, dengan begitu sekutu
itu tidak mempunyai tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan (Pasal 18 KUHD).
-
Menurut
pasal 1630 KUH Perdata: “Masing-masing sekutu diwajibkan memberikan ganti
rugi kepada persekutuan tentang kerugian-kerugian yang diderita oleh
persekutuan yang disebabkan karena salahnya si sekutu………”.
b.
Akte
tersebut harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat (pasal 23
KUHD).
c.
Petikan
akte kemudian diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). Firma
berdiri secara resmi setelah didaftarkan di BNRI dan diumumkan dalam BNRI
(pasal 28 KUHD).
Dimana kelalaian melakukan pendaftaran
dan pengumuman berlaku ketentuan pasal 29 KUHD, bahwa pihak ketiga sepenuhnya
dilindungi oleh hukum dan berhak menuntut perikatan yang telah dibuatnya dengan
persekutuan, karena perseroan firma dianggap sebagai perseroan umum. Dalam hal
ini setiap sekutu firma (tanpa kecuali) bertanggung jawab penuh untuk perikatan
yang dilakukan. Mengenai perbedaan apa
yang didaftarkan dan diumumkan (pasal 29 ayat (2)), hal ini tidak dapat digunakan oleh persekutuan
firma maupun masing-masing sekutu firma sebagai tangkisan terhadap pihak
ketiga.
° Hubungan
Antara Para Anggota Sekutu Firma.
J
Hubungan
Internal Para Sekutu.
-
Kekuasaan
tertinggi dalam persekutuan firma adalah para sekutu semuanya, yang memutuskan
segala persoalan dengan musyawarah untuk mufakat dalam batas keleluasaan yang
diberikan oleh perjanjian pendirian persekutuan firma, diatur dalam pasal 32-35
KUHD dan pasal 1339 KUHPerdata, dimana keleluasaan ini tidak boleh bertentangan
dengan pasal 1634-1635 KUHPerdata.
-
Jika
dalam perjanjian pendirian persekutuan firma tidak diatur pembagian untung
rugi, otomatis berlaku asas keseimbangan (pasal 1633 KUHPerdata) dari pada pemasukan
(inbreng). Atau bisa juga keuntungan
diterima dan dibagi secara bersama-sama dengan anggota sekutu (pasal 1618
KUHPerdata), disamping itu setiap anggota sekutu memiliki tanggung jawab
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk persekutuan (pasal 1627 KUHPerdata).
-
Siapa
yang harus menjalankan pengurusan dan penguasaan persekutuan harus ditentukan
dalam akta pendirian persekutuan firma. Jika belum diatur maka harus diatur
secara tersendiri dalam suatu akta yang harus didaftarkan pada Kepaniteraan PN
setempat dan diumumkan dalam Berita Negara RI supaya pihak ketiga dapat
mengetahuinya. Jika tidak diatur secara khusus, para sekutu dianggap secara
timbal balik telah memberi kuasa supaya yang satu melakukan pengurusan bagi
yang lain dan juga masing-masing sekutu mempunyai hak veto preventif tentang
perbuatan pengurusan tersebut, seperti yang diatur dalam pasal 1639 ayat (1)
KUH Perdata.[4] Menurut
pasal 17 KUHD seorang sekutu pengurus dapat dilarang bertindak keluar dan
berlaku ketentuan dalam pasal 18 KUHD. Jika tidak terdapat larangan maka
tiap-tiap sekutu dapat mewakili persekutuan yang mengikat sekutu pengurus
dengan adanya tanggung menanggung (tanggung renteng) dimana masing-masing
bertanggung jawab terhadap pelunasan hutang.
J
Hubungan
Eksternal dengan Pihak Ketiga.
-
Pertanggung
jawaban sekutu terhadap pihak ketiga berdasar pasal 18 KUHD adalah tanggung
menanggung (hoofdelijk) bertanggung
jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan yang dibuat teman-temanya sefirma.[5]
Tanggung jawab pribadi dalam pasal 18
KUHD ini hanya berlaku untuk perikatan persekutuan firma terhadap pihak ketiga
bukan untuk perikatan persekutuan firma terhadap sekutu firma lainnya.
-
Kewenangan
mewakili dan bertindak keluar bagi tiap-tiap sekutu. Berdasarkan Pasal 17 KUHD, bahwa tiap-tiap
sekutu mempunyai kewenangan untuk mengadakan perikatan dengan pihak ketiga
untuk kepentingan persekutuan, kecuali bila sekutu tersebut dikeluarkan dari
kewenangannya itu. Jika tidak ada sekutu yang dikeluarkan dari kewenangannya,
maka tiap-tiap sekutu dianggap saling memberikan kuasa umum bagi dan atas nama
semua sekutu untuk melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga. Dengan ini maka
timbul asas pertanggungan jawab sekutu adalah pribadi untuk keseluruhan, yang
meliputi segala macam perbuatan termasuk tindakan dimuka hakim.
-
Kewenangan
mewakili yang mengikat persekutuan firma dibatasi oleh (i) maksud dan tujuan
persekutuan firma dan (ii) kesepakatan yang dibuat oleh para sekutu firma
tentang kewenangan tersebut. Lazim diperjanjikan bahwa tindakan-tindakan hukum
tertentu memerlukan persetujuan dari atau harus dilakukan bersama sekutu
lainnya[6]
Oleh karena itu isi perjanjian persekutuan firma dapat diketahui oleh pihak
ketiga (pasal 23-29 KUHD).
° Pertanggung
jawaban.
[ Tanggung Jawab Pengurus Firma.
Sekutu firma yang termasuk dalam
pengurus memiliki tanggung jawab untuk mengurus perusahan, antara lain:
1)
Kewajiban
membuat pembukuan. Karena persekutuan firma menjalankan perusahaan, maka
berlaku ketentuan pasal 6 ayat (1) KUHD, bahwa persekutuan itu harus membuat
pembukuan. Para sekutu juga mempunyai hak untuk melihat dan mengontrol
pembukuan itu (hak pemberitaan) yang diatur dalam pasal 12 KUHD. Dalam hal ini
Prof. Soekardono berpendapat, meskipun UU memperbolehkan kuasa sekutu untuk
melaksanakan hak pemberitaan, tapi pemegang buku harus berhati-hati untuk
mencegah bocornya rahasia pembukuan.[7]
2) Mencegah kemunduran dan memajukan
persekutuan (pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata).
3) Sekutu harus bertanggung jawab terhadap
perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata), kelalaiannya (pasal 1366
KUHPerdata) dapat dituntut ganti rugi oleh persekutuan,dan juga dapat dituntut
melawan pasal 1367 KUHPerdata, apabila kerugian karena perbuatan melawan hukum
orang yang ada dibawah kekuasaan sekutu yang bersangkutan yang dilakukan
seorang sekutu firma dalam rangka menjalankan usaha persekutuan firma.
[ Tanggung Jawab Sekutu Firma.
-
Kekayaan
persekutuan firma, sekalipun merupakan kekayaan semua sekutu firma, tetap
merupakan kekayaan yang terpisah (“afgescheiden
vermogen”), artinya kekayaan tersebut terpisah dari kekayaan masing-masing
sekutu firma yang mereka miliki di samping bagian mereka dalam persekutuan
firma.[8]
Kekayaan ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban persekutuan firma terhadap
para kreditur persekutuan firma, jika masih ada sisa maka dibagi antara sekutu
firma, setelah itu baru dipakai untuk melunasi utang pribadi para sekutu firma.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa: Para kreditur persekutuan firma merupakan
kreditur preferent dibanding dengan
kreditur pribadi sekutu firma sejauh mengenai kekayaan persekutuan firma.
-
Pertanggung
jawaban sekutu baru terhadap utang-utang yang telah ada pada saat dia masuk.
Apabila sekutu baru itu tidak menggantikan sekutu yang lama, maka saya dapat
menyetujui pendapat Polak (sekutu baru tidak boleh diminta untuk membayar
utang-utang persekutuan pada saat diterima menjadi sekutu, karena ia tidak
pernah memberikan kuasa kepada sekutu lain untuk mewakilinya dalam hubungan
hukum dengan pihak ketiga, kecuali ia menyetujuinya sebagai syarat penerimaan).
Tetapi kalau sekutu baru itu mengganti sekutu yang lama, maka sudah sepantasnya
bila sekutu baru itu turut bertanggung jawab terhadap utang-utang yang telah
ada pada waktu dia masuk menjadi sekutu.[9]
-
Pertanggung
jawaban sekutu yang keluar terhadap utang-utang persekutuan yang belum sempurna
dilunasi pada saat keluarnya, berlaku ketentuan pasal 18 KUHD baik pada saat
persekutuan firma masih dalam keadaan jalan, maupun persekutuan firma dalam
keadaan bubar.
-
Akibat
dari tanggung jawab pribadi masing-masing sekutu firma untuk perikatan
persekutuan firma, bahwa pernyataan pailit persekutuan firma mengandung
pernyataan pailit masing-masing sekutu firma (Pasal 4 ayat (7) UU Kepailitan).[10]
° Kelebihan
dan Kelemahan Usaha Firma[11]
a.
Beberapa
kelebihan persekutuan firma adalah sebagai berikut:
Relatif
lebih mudah mendirikannya, modal usaha
yang relatif lebih terjangkau, pimpinan persekutuan firma terdiri dari satu
atau beberapa orang, kemampuan organisasi dan manajemen lebih kuat, sekutu firma dengan keahliannya masing-masing
saling melengkapi, kebutuhan modal lebih
mudah dipenuhi dengan cara menambah anggota sekutu tanpa harus merombak
manajemen, pembagian kerja menurut
keahlian setiap anggota sekutu, keputusan
diambil secara bersama-sama oleh setiap anggota.
b.
Selain
adanya kelebihan tersebut para pendiri persekutuan firma juga perlu mempertimbangkan
adanya beberapa kelemahan, antara lain:
Jatuh bangun perusahaan sangat bergantung
pada anggota sekutu pengurus, agak
rentan terjadi perselisihan diantara sekutu pengurus, tanggung jawab setiap
anggota dalam menjalankan laju persekutuan berbeda, jika satu anggota merugikan perusahaan maka
semua anggota ikut menanggung kerugian,
modal yang disetorkan tidak mudah untuk ditarik kembali, keberadaan hidup firma tidak terjamin karena
bila ada anggota yang meninggal dunia, maka firma tersebut akan bubar.
° Berakhirnya
Persekutuan Firma.
a.
Karena
persekutuan firma sebenarnya merupakan persekutuan perdata (pasal 16 KUHD),
maka bubarnya persekutuan firma berlaku sama dengan persekutuan perdata, yaitu
Bab VIII, Bagian IV, Buku III KUHPerdata dari pasal 1646-1652 dan pasal 31-35
KUHD.
b.
Khusus
mengatur kepentingan pihak ketiga berlaku ketentuan dalam pasal 31 KUHD. Pada
ayat (2) dinyatakan bahwa kelalaian dalam pendaftaran dan pengumuman berakibat
tidak berlakunya pembubaran, pengunduran diri, pemberhentian atau perubahan
tadi terhadap pihak ketiga. Pada ayat (3) bila kelalaian dalam perpanjangan
waktu, maka berlaku ketentuan pasal 29 KUHD.
c.
Setelah
persekutuan firma bubar, perlu ada pemberesan baik untuk kepentingan para
sekutu maupun terhadap pihak ketiga. Hal ini berhubungan dengan kas persekutuan
untuk pelunasan utang terhadap pihak ketiga (Pasal 32-35 KUHD).
d.
Pertanggung
jawaban pemberes. Hubungan hukum antara pemberes dan para sekutu adalah
hubungan pemberian kuasa. Menurut pasal 1802 KUHPerdata: pemberes sebagai
pemegang kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatannya kepada para sekutu
(pemberi kuasa) dan berkewajiban membayar ganti kerugian bila persekutuan
menderita kerugian karena kelalaian dan kesalahannya. Tanggung jawab pemberes
terbatas pada yang ditetapkan dalam perjanjian pengangkatannya (Pasal 1804
KUHPerdata). Mengenai siapa yang harus menjalankan pemberesan pada persekutuan
firma yang bubar diatur dalam pasal 32 KUHD.
Daftar
Pustaka
M, Rita, Vincent K dan Reza Paleva. Panduan Praktis Mendirikan Badan Usaha.
Cet. 1. Jakarta: Forum Sahabat, 2009.
Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia II: Bentuk-bentuk Perusahaan. Cet. 9. Jakarta: Djambatan,
1999.
Soekardono.
Hukum Dagang Indonesia I Bagian II.
Cet. 3. Jakarta: Djambatan, 1989.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 22. Jakarta: Intermasa, 1989.
Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cet.
25. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992.
_________________________. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan
Undang-Undang Kepailitan. Cet. 27.
Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 2002.
Tumbuan,
Fred B.G. “Hubungan Hukum Internal dan
Eksternal Para Sekutu”. Makalah disampaikan pada Program Sertifikasi Hakim
Pengadilan Niaga oleh MARI bekerjasama dengan Proyek In-ACCE dari USAID, Bogor,
3-13 Maret
2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar